
Tren Impor Bahan Baku dan Barang Modal di Tengah Kontraksi Manufaktur
Meski indeks manufaktur Indonesia masih berada dalam fase kontraksi, tren impor bahan baku dan barang modal terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku industri tetap waspada menghadapi tantangan ekonomi hingga akhir tahun.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor bahan baku penolong pada periode Januari-Juni 2025 naik sebesar 2,56% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai US$82,75 miliar. Sementara itu, impor barang modal juga mengalami kenaikan signifikan sebesar 20,90%, dengan total mencapai US$23 miliar.
Menurut peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ariyo DP Irhamna, peningkatan impor tersebut mengindikasikan dua hal penting. Pertama, sebagian pelaku usaha melakukan front-loading impor untuk memastikan stok tersedia di tengah ketidakpastian harga global dan nilai tukar rupiah.
“Ini menunjukkan bahwa meskipun PMI manufaktur terkontraksi selama empat bulan berturut-turut, para pengusaha tetap mempersiapkan diri untuk ekspansi di tengah ketidakpastian,” ujarnya.
PMI manufaktur Indonesia menurut laporan S&P Global turun menjadi 46,7 pada April 2025, dan masih berada di level kontraksi yaitu 49,2 pada Juli 2025.
Ariyo juga melihat bahwa sektor tertentu seperti otomotif, makanan-minuman, dan elektronik tetap berinvestasi karena melihat peluang ekspor pasca penurunan tarif. Namun, secara keseluruhan, ekspansi industri belum merata.
“Pembelian barang modal saat ini lebih bersifat strategis antisipatif daripada optimisme luas,” katanya.
Dia memproyeksikan pemulihan PMI manufaktur Indonesia baru akan terjadi pada kuartal I atau II 2026.
Impor Biji Gandum sebagai Strategi Negosiasi Tarif
Di tengah penerapan tarif bea masuk ke AS, sektor makanan masih optimistis. Impor bahan baku terus dilakukan, bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga sebagai langkah negosiasi agar tarif resiprokal bisa diturunkan.
Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menegaskan komitmen impor biji gandum dari Amerika Serikat (AS) selama lima tahun ke depan. Komitmen impor sebanyak 1 juta ton per tahun senilai US$250 juta hingga 2030 disebut menjadi salah satu pemanis negosiasi tarif bea masuk ke AS yang sebelumnya 32% kini menjadi 19%.
Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies menyampaikan bahwa pihaknya telah menandatangani kesepakatan impor biji gandum AS dengan US Wheat Associates beberapa waktu lalu.
“Komitmen kami adalah membantu pemerintah dalam negosiasi tarif, dan kami akan mengambil gandum Amerika sebanyak 1 juta ton per tahun dari 2025 hingga 2030,” ujarnya.
Dalam catatan Aptindo, impor biji gandum dari AS pada 2024 mencapai 692.882 metrik ton. Tahun depan, jumlah tersebut akan ditingkatkan menjadi 1 juta metrik ton per tahun selama lima tahun ke depan. Dengan demikian, nilai transaksi pembelian biji gandum selama 5 tahun mendatang dari AS dapat mencapai US$1,25 miliar atau setara Rp20,2 triliun.
Kesulitan Industri Tekstil di Tengah Persaingan Berat
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengatakan bahwa kondisi industri tekstil masih sulit untuk ekspansi. Tidak ada perubahan signifikan terkait produksi.
“Sangat sulit saat ini untuk bersaing di dalam negeri. Kami head to head dengan produk China yang melakukan dumping atau predatory pricing,” katanya.
Farhan melihat bahwa meskipun konsumsi masyarakat cenderung meningkat, mereka lebih memilih produk-produk yang murah di pasar. Kondisi ini mengganggu daya saing industri dalam negeri.
“Saat ini kami juga masih habiskan stok kami. Pasar domestik sangat penuh dengan produk bahan baku impor,” jelasnya.