Opini: Esensi Kemerdekaan yang Terbalik dalam Lagu Tabola Bale

Featured Image

Penampilan Lagu Tabola Bale di Istana: Euforia atau Pengkhianatan?

Pada momentum perayaan HUT NKRI ke-80, penampilan lagu viral Tabola Bale dari ruang digital menuju panggung nasional mengejutkan banyak pihak. Banyak orang mungkin menganggap wajar karena hanya hiburan biasa. Namun, sesekali negara harus ikut tren lagu kekinian apalagi yang viral sejagat Indonesia.

Masyarakat pun larut dalam kegembiraan dan terkesima dengan penampilan Silet Open Up di depan Presiden Prabowo, yang kemudian direpost dalam bentuk reels di platform media sosial. Sesuatu yang viral seperti itu di era digital pantas diendorse oleh negara di ruang publik tanpa menilai plus minusnya karena dianggap sekedar mengisi hiburan HUT Kemerdekaan NKRI ke-80 di panggung istana.

Masih terlintas dalam ingatan kita bahwa pada HUT ke-79 NKRI pada pemerintahan Joko Widodo, lagu "Ojo Dibandingkan" yang viral mampu menggetarkan istana. Hadirnya lagu tersebut menyingkirkan panggung lagu-lagu yang bernuansa perjuangan baik tingkat nasional dan daerah lazimnya dinyanyikan oleh PS Gita Bahana Nusantara. Lagu-lagu itu dinilai terlalu kaku dan seremonial dan tidak viral. Sejak saat itu sebenarnya rakyat sedang dijebak oleh euforia palsu lagu viral minus substansi dan hanya sensasional belaka.

Kini saat perayaan HUT NKRI ke-80, hal yang sama terulang. Lagu Tabola Bale menguasai panggung kehormatan bahkan mampu menghipnotis dan menggoyang istana. Uniknya para peserta yang bergoyang bukan artis yang ditentukan seperti biasanya sebuah tari kolosal melainkan para prajurit TNI dan Polri serta beberapa tamu undangan yang hadir di lingkungan istana.

Lagu yang cukup populer ini dinyanyikan dalam campuran bahasa/dialek Indonesia Timur dan bahasa Minang yang sangat khas, sehingga terasa berenergi sekaligus sentimental. Ini merupakan hasil kolaborasi lintas daerah antara Silet Open Up (musisi asal NTT), Jacson Zeran (Papua Barat), Juan Reza (NTT), dan Diva Aurel (Sumatera Barat) yang memiliki suara lembut dan khas Minang.

Namun, Tabola Bale kemudian menembus batas digital, lokalitas kemudian masuk dalam arus viral nasional bahkan mendunia. Irama gembira yang dibalut sentuhan gerakan kaki penuh energik dan kekinian, lirik sederhana namun menyentuh psikologis manusia, serta gerakan yang mudah diikuti, membuat Tabola Bale cepat menyebar dan menjadi backsound populer di berbagai platform media sosial.

Banyaknya backsound pada berbagai media sosial kemudian mengangkat Tabola Bale menjadi nomor satu dalam tangga lagu hiburan saat ini. Diputar dalam pesta pernikahan, acara komunitas, hingga kreator konten di TikTok dan YouTube sebanyak jutaan kali merepost. Kepopulerannya sebagai “lagu rakyat modern” memang tak terbantahkan.

Makna Lagu Tabola Bale

Makna lagu Tabola Bale sendiri merupakan ungkapan lokal yang menggambarkan perasaan seseorang yang mengalami gejolak hati maupun pikiran seperti suasana jungkir balik. Ini murni sebagai sebuah ekspresi situasi hati yang kacau karena cinta atau suasana hati yang menggebu-gebu yang muncul secara tiba-tiba.

Jika ditilik dari segi makna syair dan diksi, lagu tersebut hanya sedikit terkait dengan nilai perjuangan dan sama sekali tidak mewakili kisah rumitnya memperoleh kemerdekaan sehingga pantas dipamerkan di panggung terhormat. Ini murni euforia belaka.

Tabola Bale Mereduksi Kesakralan Istana

Ketika lagu ini dibawa masuk ke ruang paling sakral negara, yakni Istana Negara Jakarta dalam perayaan HUT RI ke-80, ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar. Terlepas salah satu personelnya (Juan Reza) tidak terlibat tampil di Istana Merdeka, apakah kepopulerannya layak dijadikan tolok ukur untuk mereduksi kesakralan momentum kebangsaan?

Keputusan pihak Istana dalam hal ini panitia perayaan menjadikan lagu Tabola Bale sebagai lagu utama pasca-upacara kenegaraan memunculkan ironi yang tajam. Lagu ini dari segi makna tidak pas dan pantas untuk mengisi ruang yang mestinya diwarnai syair perjuangan, lagu-lagu nasional, atau lagu daerah yang sarat makna dan penuh refleksi pasca upacara.

Pesan reflektif tentang pengorbanan pahlawan dan nilai-nilai kebangsaan terpaksa dipinggirkan demi memberi tempat bagi sebuah lagu yang lebih menekankan pada hiburan sesaat dan sesat. Karena sejatinya rakyat tidak perlu dihibur terlalu banyak di tengah kondisi serba kurang saat ini.

Panitia perayaan HUT RI ke-80 di Istana terjebak oleh viralnya lagu tanpa berpikir efek tersembunyi secara psikologis di balik judul lagu tersebut bagi kelangsungan hidup bangsa dan kecintaan pada NKRI di arus bawah. Keputusan memasukkan lagu Tabola Bale dalam situasi resmi kenegaraan bukan sekadar persoalan estetika musik, tetapi mencerminkan bagaimana negara secara diam-diam mulai menukar nilai-nilai luhur dan kharisma perjuangan pahlawan masa lalu kemudian diganti dengan lagu viral yang berdampak sesaat.

Lagu ini beserta goyangannya akan hilang bersama waktu seperti nasib lagu "Ojo Dibandingkan" yang pernah menghebohkan istana di era Jokowi karena tersisi secara berlahan oleh lagu-lagu viral berikutnya. Akibat kehadiran lagu tersebut, momentum sakral sekali setahun menyalakan api semangat melalui lagu-lagu perjuangan yang sah dan sakral di hari sakral HUT Kemerdekaan RI menjadi redup seketika karena ditutupi oleh lagu basa-basi dan penuh sensasi.

Terus apa pelajaran yang didapat rakyat setelah penampilan lagu itu. Justru reduksi nilai kebangsaan akan tergerus. Padahal, sejarah Indonesia memperlihatkan bagaimana lagu-lagu perjuangan memainkan peran vital dan strategis dalam membangun jiwa dan raga bangsa. Setidaknya menjadi pelita dan laku hidup warga bangsa dalam menjalankan amanat kemerdekaan dari para founding fathers.

Lagu-lagu seperti “Hari Merdeka,” “Bagimu Negeri,” hingga “17 Agustus Tahun 45 dan beberapa lagu perjuangan lainnya” tidak hanya menjadi pengikat identitas kita sebagai bangsa merdeka, tetapi juga sarana edukasi lintas generasi bahwa tanpa semangat perjuangan dan rela berkorban kemerdekaan itu tidak digapai. Melalui syair lagu-lagu tersebut, nilai tentang keberanian, pengorbanan, dan semangat kebersamaan diwariskan secara pasti.

Dan yang paling penting adalah lagu-lagu itu tidak terjebak oleh jebakan lagu viral seperti Tabola Bale yang lebih mementingkan euforia sesaat tanpa kesadaran mendalam akan makna perayaan peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Fenomena Tabola Bale Memang Nyata

Jika direnungkan secara mendalam, fenomena ini bukan sekadar soal pilihan hiburan semata. Namun tanpa disadari inilah cara alam Indonesia mendidik dan memberi peneguhan kepada pemimpin bahwa kebijakannya yang dilakukannya selama ini lebih banyak mengandung fenomena Tabola Bale. Di berbagai daerah fenomena seperti itu diperkuat dan dipertegas oleh pesan alam Indonesia yang terbaca saat pengibaran bendera Merah Putih seperti tali bendera putus, posisi warna bendera terbalik dan beberapa kejadian aneh lainnya.

Anehnya fenomena seperti itu serasa kompak dan momentum tanpa ada yang mengatur. Penampilan lagu Tabola Bale di panggung kehormatan Istana Negara seolah turut mewakili kondisi bangsa dan wajah pemerintahan yang telah melakukan perbuatan menentang tujuan hakiki kemerdekaan yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur sejahtera lahir dan batin.

Namun sang saka merah putih seolah memberi tanda bahwa ia tidak layak dikibarkan karena pemerintah kerap “tabola bale” dalam berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat sendiri. Janji politik bernuansa tabola bale, komitmen kesejahteraan sering kali tidak konsisten, dan kebijakan publik kadang lebih berpihak pada elite ketimbang rakyat kecil semakin memperkuat fenomena tabola bale itu nyata. Maka, kehadiran lagu ini di Istana justru mencerminkan kenyataan sesungguhnya itu.

Lebih dalam lagi, boleh jadi pilihan lagu ini merupakan "gambaran jujur" tentang kondisi bangsa saat ini yang sedang berada dalam turbulensi. Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah seperti di Kabupaten Pati, kebijakan ekonomi yang kocar-kacir, inflasi yang tak terkendali, serta janji yang sering tak sejalan dengan realitas adalah petunjuk tambahan bahwa masyarakat sedang terjebak penyakit tabola bale.

Negara seolah-olah ingin menutupi ketegangan itu dengan hiburan musik dan lagu viral agar rakyat dihipnotis.

Viral Bukan Standar Moral

Dalam konteks acara kenegaraan, alasan “hiburan” seharusnya tidak bisa diterima begitu saja. Viralitas bukanlah standar moral, apalagi dalam perayaan sebesar HUT RI. Indonesia adalah bangsa dengan kekayaan budaya dan musik yang luar biasa. Kita mestinya menampilkan lagu-lagu daerah dari Sabang sampai Merauke atau dari Miangas sampai Pulau Rote yang sarat dengan pesan perjuangan dan kebersamaan, syair tradisional yang mengajarkan kebijaksanaan, serta lagu perjuangan yang membakar semangat nasionalisme.

Mengapa semua itu dikesampingkan hanya demi mengikuti arus viral? Bukankah tugas negara adalah mengarahkan selera rakyat bergumul dalam situasi tercekik akibat kondisi bangsa, bukan justru tunduk pada tren populer yang cepat berlalu? Krisis pemahaman pada hal yang esensial seperti ini sebenarnya menyingkap persoalan lebih mendasar apakah bangsa ini masih setia pada roh kemerdekaan?

Delapan puluh tahun merdeka sejatinya menjadi momen untuk mengingat, merenungkan dan memperjuangkan cita-cita luhur founding fathers mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Apa yang tampak dalam perayaan ini justru sebaliknya rakyat belum merasakan ketidakadilan, kesenjangan semakin melebar, sementara pemimpin negara larut dalam pesta goyangan Tabola Bale.

Jika momentum sebesar ini tidak dipakai untuk mendidik anak bangsa, lalu kapan lagi ruang pendidikan kebangsaan akan hadir? HUT RI ke-80 seharusnya dijadikan momen untuk mengingatkan seluruh rakyat tentang nilai kemerdekaan sejati. Pendidikan kebangsaan harus menjadi roh utama minimal melalui lagu yang berkharisma, bukan sekadar lagu viral hiburan tidak etis, sesaat dan menyesatkan yang pada gilirannya kehilangan makna. Atau dengan kata lain rakyat tidak punya pegangan pasca perayaan yang penuh sakral ini.

Ketika rakyat sudah merasakan keadilan sosial dan kemakmuran, barulah dansa dan goyangan sebagai wujud sukacita negara merdeka pantas dijadikan simbol perayaan. Namun selama rakyat masih berada dalam belenggu dan terjerat dalam penderitaan, maka Tabola Bale seperti memercik air di dulang kena muka sendiri.

Tabola Bale hanya akan dikenang sebagai lagu pesta kemerdekaan di atas luka rakyat. Rakyat menjerit dipaksa goyang merdeka. Sungguh ironis. Dengan demikian, pelajaran berharga dari kontroversi hadirnya lagu Tabola Bale di Istana Negara yakni negara tidak boleh lagi terjebak dalam euforia viral. Negara harus hadir mengedukasi yang benar untuk rakyat apalagi di HUT Kemerdekaan RI bukan mengesampingkan rakyat dari sejarah yang benar dan bermartabat.

Momentum kenegaraan sekelas HUT Kemerdekaan RI bukanlah ruang pesta tanpa makna ideologis tetapi ruang pendidikan dan refleksi antar generasi. Bangsa Indonesia terlalu besar untuk direduksi hanya merujuk pada tontonan singkat berbasis viral di media digital. Jika pemerintah saat ini sungguh mencintai rakyatnya, maka kembalilah pada akar dimana pada esensi dasar kemerdekaan sesungguhnya. Minimal lagu-lagu yang dibawakan saat perayaan adalah lagu yang berkisah tentang perjuangan, syair daerah, pada nilai-nilai yang mengingatkan warga bangsa bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil melainkan amanat sejarah yang harus terus diperjuangkan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال

Bot Trading Spot Binance dan Bitget

Bot perdagangan crypto menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang dapat membantu Anda dalam melakukan perdagangan crypto di Market Spot (Bukan Future) secara otomatis dengan mudah dan efisien serta anti loss. Sistem Aiotrade terintegrasi dengan Exchange terbesar di dunia (Binance dan Bitget) melalui Manajemen API.