Opini: Feodalisme Modern dalam Pendidikan, Mentalitas Milenial dengan Metode Kolonial

Opini: Feodalisme Modern dalam Pendidikan, Mentalitas Milenial dengan Metode Kolonial

Tradisi Kampus yang Masih Berpegang pada Struktur Kolonial

Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan paradigma pendidikan, ada satu hal yang masih bertahan di lingkungan kampus: tradisi masa pengenalan kampus yang berbasis hierarki dan penundukan. Setiap tahun, ribuan mahasiswa baru menerima penyambutan yang penuh instruksi aneh, aturan ketat, serta simbol-simbol kekuasaan yang lebih mirip dengan sistem kolonial daripada pengantar untuk kebebasan intelektual.

Pemandangan ini selalu sama: mahasiswa baru berdiri berbaris di bawah terik matahari, mendengarkan perintah dari senior melalui toa, menunduk saat berbicara, hingga "dihukum" karena tidak mematuhi aturan yang tidak relevan dengan isi kepala mereka. Semua ini disebut sebagai "tradisi" dan "pembentukan mental", padahal justru mengajarkan bahwa tunduk adalah hal utama, bukan pertanyaan atau pemikiran kritis.

Generasi Milenial yang Masih Terjebak dalam Sistem Abad 19

Generasi yang tumbuh di era digital ternyata masih harus belajar mengenal dunia kampus lewat metode yang lebih cocok untuk pegawai kolonial Hindia Belanda. Masa orientasi ini bukanlah proses pembelajaran, tetapi sebuah cara untuk membentuk struktur vertikal di mana senior menjadi penguasa sementara, dan mahasiswa baru sebagai rakyat jelata yang harus taat tanpa protes.

Dari sudut pandang filsafat politik, ini merupakan contoh dari "power distance" tinggi—jarak kekuasaan yang besar antara atasan dan bawahan. Michel Foucault menyebutnya sebagai "disciplinary power", yaitu kekuasaan yang membentuk tubuh dan perilaku melalui aturan yang diulang-ulang. Paulo Freire pun akan menyebutnya sebagai "pendidikan penindasan", di mana mahasiswa dianggap sebagai celengan kosong yang harus diisi, bukan subjek yang diajak berdialog.

Feodalisme yang Direproduksi dalam Lingkungan Akademik

Masa orientasi bukan hanya acara sambutan, tapi juga mekanisme sosial untuk mereproduksi feodalisme di lingkungan akademik. Logikanya sederhana: hari ini kamu tunduk, besok kamu memerintah; hari ini kamu diatur, besok kamu yang mengatur. Tradisi ini bertahan karena menciptakan lingkaran setan kekuasaan—siapa pun yang pernah "disiksa" akan merasa sah untuk "menyiksa" giliran berikutnya demi "solidaritas".

Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai "habitus"—pola pikir dan perilaku yang diwariskan dan diinternalisasi tanpa sadar. Mahasiswa yang masuk dengan semangat kebebasan akan perlahan belajar bahwa di kampus pun, kekuasaan bekerja lewat simbol, gestur, dan ritual yang mempertahankan hierarki.

Retorika Moral yang Menutupi Kekuasaan

Yang membuat masalah ini semakin kompleks adalah bagaimana tradisi ini dibungkus dengan retorika moral seperti “Kami sedang melatih mental kalian” atau “Kami mempersiapkan kalian menghadapi dunia nyata.” Dunia nyata yang dimaksud justru adalah dunia penuh perintah tanpa ruang bertanya, dunia di mana kekuasaan tidak perlu dijustifikasi asalkan dibungkus alasan “demi kebaikan”.

Ironinya, kampus seharusnya menjadi rumah bagi pikiran bebas, laboratorium demokrasi, dan ruang perdebatan terbuka. Namun, masa orientasi feodal justru mengajarkan mahasiswa baru bahwa yang penting bukan isi kepala, melainkan seberapa taat mereka pada aturan yang bahkan tidak relevan dengan proses akademik.

Pendidikan atau Simulasi Kekuasaan?

Pertanyaannya: apakah masa orientasi ini benar-benar memperkenalkan mahasiswa pada budaya akademik, atau sekadar simulasi kekuasaan? Apakah ini tentang membangun karakter, atau hanya melestarikan kebiasaan turun-temurun yang sudah kehilangan konteks?

Sebagian pembela tradisi ini akan berkata, “Kalau tidak seperti ini, mahasiswa baru tidak akan menghargai senior.” Pernyataan ini saja sudah cukup untuk menunjukkan betapa kita masih memelihara mentalitas feodal: rasa hormat diperoleh bukan dari keteladanan intelektual atau kontribusi nyata, melainkan dari posisi "lebih dulu” di dalam hierarki.

Alternatif: Pengenalan Kampus yang Dialogis

Kritik tanpa solusi hanya akan terdengar seperti keluhan. Karena itu, penting untuk membayangkan alternatif. Pengenalan kampus seharusnya menjadi ajang memperkenalkan mahasiswa pada tiga hal: budaya akademik yang berbasis kebebasan berpikir, jaringan sosial yang kolaboratif, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.

Model yang dialogis bisa menggabungkan mentoring, diskusi tematik, dan eksplorasi kreatif. Senior menjadi fasilitator, bukan penguasa. Aturan bukan untuk menundukkan, melainkan untuk mengarahkan pada pengalaman belajar yang bermakna. Dalam suasana ini, rasa hormat tumbuh secara alami karena ada teladan, bukan paksaan.

Menutup Tas Abad Lalu

Feodalisme modern di ruang pendidikan adalah paradoks yang harus kita akhiri. Dunia sudah bergerak cepat: teknologi, cara belajar, bahkan konsep pekerjaan berubah. Namun tanpa sadar, kita masih membawa tas lama berisi atribut dan ritual abad lalu.

Jika kita ingin mahasiswa menjadi generasi kritis yang siap menghadapi tantangan global, kita harus mulai dari pintu masuk: masa orientasi yang membebaskan, bukan menundukkan. Akhirnya, ini bukan sekadar soal mengubah format acara pengenalan kampus, tapi mengubah pola pikir kita sendiri tentang pendidikan. Selama kita masih percaya bahwa kekuasaan harus diawali dengan penundukan, kita sedang mendidik generasi untuk mengulang kesalahan yang sama.

Pertanyaannya, maukah kita membuka tas itu, mengosongkannya, dan mengisinya kembali dengan hal-hal yang relevan untuk hidup sebagai mahasiswa merdeka?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال

Bot Trading Spot Binance dan Bitget

Bot perdagangan crypto menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang dapat membantu Anda dalam melakukan perdagangan crypto di Market Spot (Bukan Future) secara otomatis dengan mudah dan efisien serta anti loss. Sistem Aiotrade terintegrasi dengan Exchange terbesar di dunia (Binance dan Bitget) melalui Manajemen API.