
Perjalanan Komunikasi Publik di Indonesia
Sejarah delapan puluh tahun komunikasi publik di Indonesia mencerminkan perubahan besar dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Dari masa penyiaran yang terpusat hingga saat ini, ruang publik digital menjadi arena utama pertukaran gagasan. Dalam observasi penulis, selama empat dekade pertama sejak kemerdekaan, pola komunikasi publik berkembang di bawah kendali penuh negara dengan arus informasi yang hampir sepenuhnya satu arah.
Lembaga humas pemerintah menjadi garda depan, didukung oleh media resmi seperti radio nasional dan surat kabar yang berada dalam ekosistem pengawasan ketat. Di era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, komunikasi publik dibingkai sebagai instrumen stabilitas. Perbedaan pandangan sering dipersempit melalui regulasi pers yang ketat serta wacana publik yang lebih mencerminkan kehendak pusat kekuasaan daripada aspirasi masyarakat.
Pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya. Kehadirannya bukan hanya simbol kemajuan teknologi penyiaran, tetapi juga memperkuat dominasi pemerintah dalam mengendalikan narasi. Selama hampir tiga dekade, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang dapat diakses masyarakat luas, menyajikan siaran berita, hiburan, dan informasi publik sesuai kebijakan resmi.
Baru pada 1989, RCTI lahir sebagai televisi swasta komersial pertama, menandai pergeseran kecil dalam lanskap media nasional. Meski demikian, kendali pemerintah tetap kuat sehingga keragaman pandangan di ruang publik masih sangat terbatas.
Era Reformasi dan Perubahan Dinamis
Memasuki era Reformasi pada 1998, runtuhnya Orde Baru menandai dimulainya babak baru komunikasi publik yang lebih terbuka. Pembubaran Departemen Penerangan setahun kemudian, liberalisasi izin penerbitan, dan kemunculan aneka media baru menciptakan ledakan jumlah surat kabar, majalah, serta stasiun radio dan televisi di berbagai daerah.
Masyarakat menikmati ruang kebebasan berekspresi yang lebih luas, dan interaksi antara pemerintah, media, dan publik menjadi lebih dinamis. Media online mulai bermunculan, meskipun jaringan internet masih terbatas kala itu, tapi perlahan menjadi alternatif penting dalam distribusi informasi dan pembentukan opini publik.
Di tengah keterbukaan tersebut, dinamika baru muncul, termasuk persaingan sengit antarmedia, polarisasi isu, dan tantangan menjaga integritas informasi di tengah derasnya arus berita.
Masa Digital dan Tantangan Baru
Dari 2008 hingga 2018, kehadiran ponsel cerdas yang terjangkau dan media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mengubah cara pesan disampaikan dan diterima. Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram mengubah dinamika komunikasi publik.
Pemerintah, politisi, aktivis, dan warga biasa memiliki panggung setara dalam membangun narasi. Algoritma mulai menjadi penentu visibilitas pesan, memengaruhi opini publik dengan logika keterlibatan, dan kecepatan viral sering mengalahkan akurasi, sehingga hoaks mulai bertebaran.
Kemudahan membangun jejaring digital daring membawa tantangan serius, seperti munculnya pendengung, kampanye disinformasi, dan serangan digital terhadap pihak yang kritis. Ruang publik digital sering kali berubah menjadi arena persekusi instan, di mana argumen substantif tenggelam dalam serangan pribadi dan labelisasi politik.
Regulasi dan Paradoks
Negara mulai membentuk kerangka hukum untuk mengatur komunikasi publik yang lebih terbuka dan beradab. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menata penyelenggaraan siaran lebih beragam, independen, dan mencerminkan kepentingan publik. UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 memberi dasar hukum warga mengakses informasi dari badan publik sebagai hak asasi, sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas.
UU Informasi dan Transaksi Elektronik 2008 berusaha menjawab tantangan komunikasi di ruang digital, termasuk aspek transaksi, perlindungan hak cipta, dan penindakan penyalahgunaan teknologi informasi. Kehadiran ketiga undang-undang ini menandai upaya negara membangun ekosistem komunikasi publik yang lebih modern, meski praktik di lapangan kerap menunjukkan ketegangan antara semangat kebebasan berekspresi dengan upaya pengendalian berlebihan bahkan tebang pilih.
Solusi dan Langkah Masa Depan
Komunikasi publik Indonesia menghadapi paradoks: akses informasi dan kebebasan berekspresi berada pada titik tertinggi dalam sejarah, tapi sekaligus dibayangi risiko polarisasi, manipulasi algoritma, dan kelelahan partisipasi publik. Keterbukaan yang seharusnya memperkaya dialog justru kerap dimanfaatkan mempertebal sekat perbedaan.
Untuk menghadapi paradoks ini, langkah pertama adalah konsistensi dalam memperkuat literasi digital masyarakat. Pengingat sederhana kepada masyarakat dalam menilai akurasi sebelum membagikan informasi sangat penting. Intervensi ini relatif murah dan efektif, sehingga layak diadopsi di kanal resmi pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Selanjutnya, desain sistem rekomendasi media sosial perlu mendorong keberagaman perspektif. Regulasi harus mengharuskan audit algoritmik dan pengukuran keberagaman konten guna meminimalkan efek ruang gema dan memperluas ruang percakapan sehat di ruang digital.
Kedua, pengembangan pendidikan perspektif yang mendorong empati dan pemahaman lintas kelompok. Program literasi digital dan komunikasi publik sebaiknya mengombinasikan modul empati dan dialog terstruktur.
Terakhir, memperluas arena partisipasi publik deliberatif. Platform deliberasi dapat memetakan lanskap opini, menemukan titik temu, dan mengurangi perilaku tidak produktif. Demokrasi elektronik yang dirancang kolaboratif dan transparan dapat meningkatkan inklusivitas serta kualitas pertukaran argument.
Masa depan komunikasi publik Indonesia akan sangat ditentukan sejauh mana negara, platform digital, media, dan masyarakat bekerja sama membangun ruang dialog beradab, aman, dan berlandaskan data benar. Transformasi teknologi tidak mungkin dibendung, tapi kualitas demokrasi digital bergantung kemauan kolektif menjaga keterbukaan sambil melindungi warga dari intimidasi, disinformasi, dan dominasi algoritma yang membutakan.