
Penilaian Ekonom tentang Target Pertumbuhan Ekonomi 2026
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyampaikan pandangan kritis terhadap target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% yang ditetapkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Menurutnya, target tersebut dinilai terlalu optimis mengingat kinerja sektor-sektor pendukung masih belum optimal.
Yusuf menegaskan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih realistis adalah sekitar 4,28% berdasarkan rata-rata capaian dari tahun 2015 hingga 2025. Ia juga menyebut bahwa Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mencapai angka 5%. "Target 5,4% ini cukup mengagetkan," ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya menyampaikan target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4%, dengan inflasi di bawah 2,5%, nilai tukar Rp 16.500 per dolar AS, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun sebesar 6,9%. Namun, Yusuf menyoroti bahwa selama sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah melebihi angka 5,4%.
Capaian tertinggi terjadi pada tahun 2022, saat pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% karena kenaikan harga komoditas. Namun, kondisi tersebut tidak bisa diulang dalam jangka panjang. Salah satu alasan utamanya adalah kinerja sektor industri manufaktur yang sering kali tumbuh di bawah 5%.
Ketidakstabilan sektor industri ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. "Jika sektor industri manufaktur dapat tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi sebenarnya, maka target tersebut bisa dicapai," kata Yusuf.
Selain itu, sektor perdagangan juga belum menunjukkan kinerja optimal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. Yusuf menilai bahwa masyarakat kelas menengah tidak memiliki program bantuan sosial yang spesifik, sementara warga kelas bawah mendapatkan berbagai bentuk bantuan sosial.
Kurangnya daya beli masyarakat ini akan memengaruhi konsumsi dan akhirnya memengaruhi pertumbuhan industri manufaktur. Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi 5,4% menjadi semakin sulit untuk dicapai.
Tantangan yang Menghadang
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyatakan bahwa meskipun target pertumbuhan ekonomi 2026 sangat optimis, tantangan besar tetap ada. Penerimaan negara yang melemah serta biaya utang yang tinggi menjadi salah satu tantangan utama.
Eko juga menyoroti bahwa target inflasi 2,5% pada tahun depan masih relatif realistis. Namun, potensi lonjakan harga pangan tetap menjadi risiko utama terhadap daya beli masyarakat. Selain itu, yield SBN Indonesia yang mencapai 6,9% pada 2026 dinilai terlalu tinggi dibanding negara lain, sehingga dapat membebani fiskal jika tidak ditekan ke kisaran 6%.
Gap total penerimaan negara pada RAPBN 2026 terhadap outlook 2025 mencapai Rp 282,2 triliun. Oleh karena itu, strategi peningkatan penerimaan harus dilakukan tanpa menekan basis pajak yang sudah patuh.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menjelaskan bahwa tekanan global, penurunan harga komoditas ekspor, lemahnya mesin penciptaan lapangan kerja, serta kebergantungan pada program unggulan menjadi tantangan serius bagi pemerintah.
Perekomian dunia pada 2026 masih akan dibayangi ketidakpastian tinggi. Kondisi geopolitik, arah kebijakan ekonomi negara-negara besar, serta dampak berkala pascapandemi Covid-19 masih menahan laju pemulihan ekonomi global.
Perhatian terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono, menambahkan bahwa pemerintah perlu memberi perhatian serius terhadap penciptaan lapangan kerja jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun depan. Dia menilai bahwa mesin penciptaan lapangan kerja utama Indonesia, yaitu sektor manufaktur, belum pulih sepenuhnya sejak krisis moneter Asia 1997/1998.
Dulu, sektor manufaktur tumbuh double digit, antara 10-12%, sehingga ekonomi ikut terdorong dan menyerap tenaga kerja besar. Namun, saat ini pertumbuhan sektor manufaktur tidak lagi secepat itu. Hal ini membuat sektor manufaktur tidak lagi menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, arah investasi semakin menjauh dari industri pengolahan dan manufaktur. Contohnya, dari total investasi langsung, hanya 30-40% yang mengarah ke sektor padat modal dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal, pada 2002-2010, persentase tersebut mencapai 50-80%.
Investasi yang fokus ke sektor padat modal memperlemah penciptaan lapangan kerja berkualitas. Tren PHK yang marak saat ini hanya puncak gunung es dari masalah struktural ketenagakerjaan Indonesia.