
Inisiatif Pengelolaan Sampah Mandiri di Desa Adat Cemenggaon
Di tengah kekhawatiran akan peningkatan jumlah sampah yang tidak terkelola dengan baik, I Wayan Balik Mustiana, Ketua Badan Pengelola Sampah (BPS) Desa Adat Cemenggaon, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, mengambil langkah inovatif dengan memperkenalkan sistem pengelolaan sampah mandiri berbasis kearifan lokal bernama teba modern. Sistem ini dirancang untuk membantu masyarakat dalam memilah dan mengelola sampah secara efektif.
Wayan Balik menilai bahwa masalah sampah muncul karena kurangnya pemilahan sejak awal. Banyak warga cenderung mencampur semua jenis sampah dalam satu tempat, sehingga menyebabkan penurunan nilai sampah dan akhirnya menjadi residu. Hal ini membuat proses pengolahan lebih sulit dan tidak efisien.
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada 2024 menunjukkan bahwa Provinsi Bali memiliki rata-rata timbulan sampah tertinggi di Indonesia. Jumlahnya mencapai 1,167,451.75 ton per tahun, dengan rumah tangga menyumbang hingga 76,15 persen. Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan 366,806.73 ton per tahun, sementara Kabupaten Gianyar mencatatkan 205,137.00 ton per tahun. Dari total tersebut, 16,97 persen merupakan sampah sisa makanan.
Wayan Balik menyadari bahwa masyarakat telah terbiasa dengan sistem angkut buang, sehingga sulit untuk langsung melakukan pemilahan sampah secara mandiri. Penerapan teba modern membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga bisa diterapkan secara merata dan memberikan hasil yang nyata bagi warga desa.
Asal Usul Teba Modern
Konsep teba modern pertama kali digagas pada tahun 2013, kemudian pada 2016, Wayan Balik bersama beberapa warga desa lainnya merintis Sistem Pengelolaan Sampah Mandiri Pedesaan (Pesan Pede) melalui Forum Peduli Lingkungan di desanya yang terbentuk sejak 2011. Pada 2019, mereka membuat kesepakatan di Desa Adat Cemenggaon tentang penggunaan teba modern, lalu mencari dana hingga akhirnya pada April 2020, warga desa sudah memiliki teba masing-masing.
Teba modern dibangun di lahan kosong atau tersisa dengan diameter 80 sentimeter dan kedalaman 2 meter, ditutup dengan beton serta dilengkapi lubang kecil sebagai jalur sampah. Bentuknya juga bisa dimodifikasi menjadi meja dengan menambahkan buis beton. Untuk jalur sampah, lubang kecil dapat dibuat di bagian bawah meja.
Nama teba modern terinspirasi dari kearifan lokal masyarakat Bali yang menggunakan halaman kosong belakang rumah atau dalam bahasa Bali disebut teba sebagai kandang ternak, kebun, hingga tempat membuang sampah organik seperti sisa bahan pangan, sisa makanan, atau sampah organik hasil upacara keagamaan. Istilah "paon ke teba, teba ke paon" merujuk pada penggunaan teba sebagai tempat pengelolaan sampah dapur atau rumah tangga. Sampah organik seperti biji-bijian akan tumbuh kembali, dan sisanya akan diurai secara alami melalui bantuan mikroorganisme, sehingga kembali ke dapur.
Dukungan dari Desa Adat
Proses internalisasi teba modern di Desa Adat Cemenggaon tidak mudah, tetapi keterlibatan seluruh unsur masyarakat menjadi kunci keberhasilannya. Desa adat juga memiliki peran penting dalam realisasi sistem ini. Aturan teba modern harus dibuat melalui perarem, yaitu keputusan yang dibuat berdasarkan hasil musyawarah desa adat.
Selain aturan, desa adat juga menjadi fasilitator sistem Pesan Pede dengan menyediakan dua tong sampah di masing-masing rumah, dua teba modern, bank sampah aktif, hingga prosedur penanganan sampah residu. Kini, Desa Adat Cemenggaon telah memiliki 790 teba modern yang tersebar di 350 KK, tempat suci, hingga sekolah-sekolah.
Manfaat dan Tantangan Pengelolaan Sampah Mandiri
Dengan bantuan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Desa Adat Cemenggaon menghasilkan 4 kilogram sampah per hari. Dengan total 350 KK, jumlah sampah harian mencapai 1,4 ton. Jika masih menggunakan sistem angkut buang, desa akan membuang sekitar 48 ton per bulan ke TPA.
Setelah menerapkan sistem Pesan Pede, 60-70 persen sampah rumah tangga selesai di teba, 20 persen sampah anorganik yang bisa didaur ulang masuk ke bank sampah, dan 10 persen sampah residu diangkut ke TPA. Langkah ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah mandiri memberikan manfaat jangka panjang.
Kebijakan Pemerintah dan Tanggapan Masyarakat
Beberapa waktu lalu, Gubernur Bali I Wayan Koster meminta warga untuk mengelola sampah sendiri. Kebijakan ini diikuti oleh pembatasan pembuangan sampah organik ke TPA Regional Suwung mulai 1 Agustus 2025. Selain itu, TPA tersebut akan ditutup secara permanen pada akhir Desember 2025.
Pemprov Bali mengarahkan Denpasar dan Badung untuk mengoptimalkan operasional Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Wali Kota Denpasar dan Bupati Badung juga diimbau mempercepat implementasi Gerakan Bali Bersih Sampah (GBBS), pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, serta pengelolaan sampah berbasis sumber di seluruh desa, kelurahan, dan desa adat.
Menanggapi kebijakan ini, I Made Agus Jaya Wardana atau karib dipanggil Degus, Ketua Komunitas Malu Dong, sepakat dengan intruksi pengelolaan sampah berbasis sumber. Namun, ia menilai pengolahan sampah anorganik dan residu yang tidak tertangani di rumah tangga harus difasilitasi pemerintah. Menurutnya, banyak masyarakat belum teredukasi cara pengelolaan sampah yang benar, sehingga perlu dukungan pemerintah dalam bentuk fasilitas dan sistem pengawasan yang efektif.