
Pakistan, 12 Agustus -- Laporan kuartalan terbaru oleh Inspektur Khusus Amerika Serikat untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) menggambarkan gambaran suram dan tak terbantahkan tentang sebuah negara yang mundur. Ini bukan hanya pembaruan birokratis; ini adalah peringatan tajam dan tidak ambigu bahwa Afghanistan, di bawah pemerintahan Taliban, secara cepat kembali ke gelapnya era sebelum 9/11. Janji-janji Perjanjian Doha 2020 - perjanjian yang menjadi jalan bagi penarikan pasukan AS - telah menjadi kosong, digantikan oleh suatu rezim yang berbicara tentang perdamaian tetapi menerapkan kebijakan teror.
Di inti dari tragedi ini terletak sebuah penipuan yang mendalam. Afghanistan telah menjadi tempat perlindungan bagi ekstremis, di mana kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS-K tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Akibat paling langsung dan berbahaya dari kebijakan ini adalah perlindungan terhadap Tehreek-i-Taliban Pakistan (TTP), yang beroperasi dengan impunitas dari basisnya di timur Afghanistan. Ini merupakan ancaman langsung terhadap stabilitas regional, khususnya bagi Pakistan, yang dipaksa menanggung dampak dari kekerasan TTP. Mitos tentang Taliban sebagai benteng melawan terorisme telah sepenuhnya terbongkar; kenyataannya, seperti yang dikonfirmasi laporan SIGAR, Taliban tidak sedang melawan teror—mereka justru memberi makan teror tersebut, memungkinkan jaringan-jaringan ini untuk bertahan dan berkembang, menjadikan Afghanistan sebagai pusat baru bagi jihad global.
Krisis keamanan ini diperparah oleh bencana kemanusiaan yang dibuat sendiri oleh Taliban. Sementara pemimpin mereka dengan keras berusaha mendapatkan pengakuan internasional dan dana, mereka memerintah dengan ketat seperti abad pertengahan yang telah secara efektif mengisolasi negara itu dari dunia luar. Hipokrasi ini sangat mencolok: sebuah rezim yang menuntut legitimasi sambil menerapkan pembatasan yang keras terhadap perempuan dan minoritas. Larangan pendidikan bagi anak perempuan dan penghapusan menyeluruh terhadap hak perempuan bukan hanya kebijakan budaya; mereka adalah tindakan sadar yang mundur yang menjauhkan setiap mitra potensial. Isolasi yang dipaksakan sendiri ini, ditambah dengan pembungkaman masyarakat sipil dan kebekuan program bantuan, telah membuat kelaparan menjadi hasil kebijakan yang tak terhindarkan, bukan kecelakaan yang tidak diinginkan. Lebih dari 28 juta warga Afghanistan kini menjadi tawanan dari ideologi represif pemimpin mereka.
Pada akhirnya, laporan ini adalah peringatan yang tidak boleh diabaikan oleh dunia. Penipuan Taliban merupakan ancaman regional dan global yang membutuhkan respons internasional yang bersatu. Anggapan bahwa Afghanistan "sedang pulih" adalah sebuah fiksi berbahaya; kondisinya semakin memburuk di bawah kendali militer, tanpa memperhatikan hak asasi manusia, perdamaian, atau kemitraan. Tiba waktunya bagi dunia untuk bergerak melewati kata-kata kosong dan janji-janji yang rusak, serta menghadapi realitas kejam bahwa Afghanistan, di bawah kepemimpinan saat ini, adalah bom waktu yang siap meledak.
Implikasi terhadap dinamika regional sangat mengkhawatirkan. Peringatan berulang Pakistan mengenai keberadaan dan aktivitas TTP di Afghanistan telah dihadapi dengan penghindaran dan penyangkalan dari Taliban. Perlindungan yang diberikan kepada milisi ini telah menyebabkan lonjakan signifikan dalam serangan lintas perbatasan, yang memperburuk stabilitas provinsi barat Pakistan dan memberatkan hubungan diplomatik. Kegagalan Taliban untuk bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok ini tidak hanya melanggar komitmen internasional mereka tetapi juga memicu siklus kekerasan berbahaya yang dapat menyebar dan mengganggu stabilitas seluruh kawasan. Respons acuh dari komunitas internasional terhadap masalah serius ini semakin memperkuat keyakinan Taliban bahwa mereka dapat terus melanggar norma global tanpa konsekuensi.
Selain itu, situasi kemanusiaan adalah jam yang terus berdetak. Laporan SIGAR menunjukkan bahwa kejatuhan bantuan secara langsung terkait dengan kebijakan represif Taliban. Dengan secara sistematis mengeluarkan perempuan dari tenaga kerja, khususnya dari organisasi bantuan, serta memberlakukan pembatasan ketat terhadap masyarakat sipil, Taliban telah membuat hampir mustahil bagi bantuan internasional untuk sampai kepada mereka yang paling membutuhkannya. Ini bukanlah kegagalan logistik, tetapi pilihan sengaja untuk menggunakan kelaparan sebagai alat kontrol. Penderitaan rakyat Afghanistan bukanlah kecelakaan takdir; ini adalah konsekuensi langsung dari ideologi politik yang memprioritaskan represi daripada kesejahteraan manusia. Hal ini menciptakan krisis moral bagi komunitas global, yang harus menemukan cara untuk mendistribusikan bantuan tanpa melegitimasi suatu rezim yang merupakan penyebab utama penderitaan tersebut.
Isolasi diplomatik Afghanistan hampir total, namun Taliban tampak tidak terganggu. Upaya mereka untuk menciptakan negara berideologi, yang terputus dari prinsip pemerintahan modern, telah menjadikan mereka sebagai pembangkang. Mereka tidak memiliki peta jalan untuk pengembangan berkelanjutan, tidak memiliki rencana pemulihan ekonomi, dan tidak tertarik untuk mendorong masyarakat yang pluralistik. Fokus mereka tetap pada penegakan dogma yang kaku dan medieval. Ini adalah kesalahan mendalam, karena sebuah negara tidak dapat bertahan hanya berdasarkan ideologi. Konsekuensi jangka panjang akan sangat buruk, tidak hanya bagi Afghanistan tetapi juga bagi kawasan, karena negara yang gagal menjadi semakin subur bagi berbagai ancaman lintas negara.