
Kekhawatiran tentang Manipulasi Data Ekonomi di AS
Pemecatan seorang pejabat pemerintah oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu kekhawatiran di kalangan ekonom dan pelaku pasar global. Peristiwa ini terjadi setelah laporan ketenagakerjaan yang tidak sesuai harapan dirilis. Meskipun tidak ada bukti bahwa data tersebut direkayasa, penunjukan figur partisan untuk memimpin lembaga data ekonomi pemerintah menimbulkan kekhawatiran akan kredibilitas informasi yang diberikan.
Sejarah mencatat bahwa negara-negara seperti Yunani dan Argentina pernah menghadapi konsekuensi berat akibat manipulasi data ekonomi. Di Yunani, angka defisit dan utang nasional dimanipulasi agar bisa masuk ke zona euro. Kebohongan ini memperburuk krisis keuangan global 2008–2009. Sementara itu, Argentina mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses pembiayaan karena data inflasinya dianggap tidak kredibel.
Kekhawatiran serupa muncul saat Presiden Trump memecat Erika McEntarfer, kepala Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS). Penyebabnya adalah laporan ketenagakerjaan yang mengecewakan. Meski Gedung Putih membantah adanya alasan politik, para ekonom tetap merasa khawatir akan dampak dari keputusan ini.
Dampak pada Kesehatan Ekonomi Global
Ekonomi AS memengaruhi hampir semua orang di dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari pengusaha di gedung pencakar langit Manhattan hingga para pemulung di kawasan kumuh negara berkembang, semuanya tergantung pada data ekonomi yang akurat. Jika data tersebut tidak dapat dipercaya, maka risiko terhadap stabilitas ekonomi global akan meningkat.
Meski AS memiliki perekonomian terbesar di dunia dengan daya tahan dan dominasi global yang kuat, kekhawatiran tetap muncul. Pemerintahan Trump menyatakan bahwa pemecatan McEntarfer dilakukan untuk meningkatkan akurasi data BLS. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa AS kini berada di persimpangan jalan, menunggu untuk melihat apakah data yang selama ini dianggap sebagai standar emas akan tetap kredibel atau tidak.
Pelajaran dari Negara Lain
Yunani dan Argentina memberikan contoh nyata tentang bahaya manipulasi data. Di Yunani, kebohongan tentang defisit dan utang memicu krisis keuangan yang parah. Investor enggan membeli obligasi negara tersebut, biaya pinjaman melonjak, dan kebijakan penghematan yang dituntut IMF serta Bank Dunia memicu kerusuhan sosial. Sementara itu, di Argentina, data inflasi yang tidak kredibel menyebabkan kepercayaan publik dan investor terhadap data resmi hancur. Peringkat kredit negara tersebut terjebak di level “sampah” selama bertahun-tahun, memperparah akses pembiayaan negara itu.
Dampak langsung dari manipulasi data ini dirasakan oleh rakyat biasa. Ketika biaya pinjaman melonjak atau akses pembiayaan ditutup, pembangunan sekolah, jalan, hingga layanan publik pun terganggu.
Perbedaan Situasi AS dengan Negara Lain
Robert Shapiro, mantan pejabat Departemen Perdagangan AS, menilai situasi AS berbeda jauh dengan Yunani dan Argentina. Menurutnya, kedua negara itu sudah dalam kondisi krisis ekonomi saat kebohongan data terbongkar. Sementara itu, ekonomi AS masih tumbuh solid, dengan pertumbuhan 3 persen secara tahunan pada kuartal II 2025 dan ukuran ekonomi lebih dari 30 triliun dollar AS.
Shapiro juga menambahkan bahwa faktor pemangkasan anggaran telah memengaruhi kemampuan BLS dalam mengumpulkan data. Saat ini, BLS memiliki lebih sedikit staf sehingga mengurangi kemampuan mereka dalam mengumpulkan data, memperlambat rilis angka final, dan menyebabkan revisi besar.
Data Alternatif dan Kepercayaan Publik
Meski ada kekhawatiran, AS masih memiliki sumber data lain, baik publik maupun swasta, seperti Biro Sensus dan Biro Analisis Ekonomi. Institusi-institusi ini hampir sepenuhnya diisi ahli statistik dan ekonom yang profesional. Pekerjaan mereka sama sekali tidak politis.
Para analis menegaskan bahwa tidak ada pengganti untuk data pemerintah yang kredibel. Dengan data yang akurat, pengambilan keputusan oleh bisnis, rumah tangga, dan pembuat kebijakan akan lebih efektif. Oleh karena itu, menjaga kredibilitas data ekonomi menjadi sangat penting, terlepas dari siapa yang memimpin lembaga tersebut.