
Komisi III DPR Akan Undang Berbagai Pihak untuk Menyempurnakan RUU KUHAP
Komisi III DPR, yang dipimpin oleh Habiburokhman, berencana mengundang berbagai pihak terkait untuk memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Tujuan dari undangan ini adalah agar RUU KUHAP yang dihasilkan dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi berbagai elemen masyarakat serta lembaga terkait.
Dalam pernyataannya, Habiburokhman menyampaikan bahwa pihaknya akan mengundang antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lokataru, Dosen Gandjar Bondan, Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM, serta sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan organisasi masyarakat lainnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa RUU KUHAP yang disusun tidak hanya sesuai dengan norma hukum, tetapi juga tidak melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
"Lebih baik tidak ada RUU KUHAP baru jika sampai melemahkan pemberantasan korupsi," ujarnya. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara reformasi hukum dan keberlanjutan penegakan hukum, terutama dalam konteks tindakan anti-korupsi.
Selain itu, Komisi III DPR juga akan melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah guna menyerap aspirasi masyarakat. Langkah ini bertujuan untuk memperluas wawasan dan memastikan bahwa RUU KUHAP mencerminkan kebutuhan masyarakat secara luas.
Proses Pembahasan RUU KUHAP yang Cepat
Proses pembahasan RUU KUHAP telah dilakukan dengan cepat. DPR dan pemerintah telah merampungkan pembahasan sebanyak 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam waktu dua hari. Pembahasan dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP yang dimulai pada Rabu (9/7/2025) dan selesai pada Kamis (10/7/2025).
Meskipun prosesnya berjalan cepat, masih ada kekhawatiran terhadap isi RUU tersebut. KPK, sebagai salah satu lembaga yang sangat terlibat dalam pemberantasan korupsi, telah secara resmi mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR untuk meminta audiensi terkait RUU KUHAP.
Kritik KPK Terhadap RUU KUHAP
KPK menyebut setidaknya terdapat 17 poin krusial dalam draf RUU KUHAP yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi melemahkan independensi serta efektivitas kerja lembaga tersebut dalam pemberantasan korupsi. Berikut adalah poin-poin utama yang dikritik:
- Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".
- Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.
- Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.
- Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.
- Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.
- Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.
- Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.
- Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.
- Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.
- Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri: RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.
- Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara: RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.
- Kewenangan Perkara Koneksitas Tak Diakomodir: Kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas (melibatkan sipil dan militer) yang telah dikuatkan putusan MK tidak diatur dalam RKUHAP.
- Monopoli Perlindungan Saksi oleh LPSK: RKUHAP seolah menyerahkan perlindungan saksi hanya kepada LPSK, mengabaikan kewajiban dan hak KPK untuk melindungi saksi dan pelapornya sendiri.
- Penuntutan Lintas Wilayah Dihambat: RKUHAP mewajibkan penuntut umum mendapat surat pengangkatan sementara dari Jaksa Agung untuk menuntut di luar daerah hukumnya, bertentangan dengan wewenang penuntut KPK yang berlaku di seluruh Indonesia.
- Ambiguitas Status Penuntut Umum KPK: Definisi Penuntut Umum dalam RKUHAP dinilai berpotensi tidak secara eksplisit mengakui penuntut yang diangkat oleh KPK.
Konteks RUU KUHAP
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah revisi besar terhadap KUHAP 1981 yang bertujuan menyesuaikan hukum acara pidana Indonesia dengan perkembangan hukum modern dan KUHAP Nasional yang akan berlaku mulai 2026. RUU ini memuat 334 pasal dan mencangkup 10 substansi utama antara lain penyesuaian nilai hukum baru, penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, saksi, perempuan, disabilitas dan lansia, peran advokat, pengaturan upaya paksa dan praperadilan.