Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Silfester Matutina
Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, resmi mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 5 Agustus 2025. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali jika putusan tersebut menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Proses permintaan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi putusan tersebut. Diketahui bahwa Silfester Matutina adalah seorang pengacara, pengusaha, dan aktivis politik Indonesia yang dikenal sebagai relawan vokal pendukung Presiden Joko Widodo dan kemudian pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Sejak Maret 2025, ia menjabat sebagai Komisaris Independen di BUMN ID Food.
Solidaritas Merah Putih (Solmet) adalah sebuah organisasi relawan independen yang didirikan pada tahun 2013 untuk mendukung pencalonan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia. Silfester Matutina divonis 1,5 tahun atas kasus penghinaan terhadap Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK). Namun, ia belum menjalani hukuman tersebut sampai saat ini meski kasusnya telah inkraht atau berkekuatan hukum tetap.
Tanggapan Kejaksaan Agung
Menanggapi informasi tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan bahwa pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh Silfester Matutina tidak akan menghalangi proses eksekusi putusan pengadilan. “Prinsipnya PK tidak menunda eksekusi,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna, di Kejagung, Senin (11/8/2025).
Mengenai alasan eksekusi belum dilakukan, Anang kembali menegaskan bahwa hal tersebut sepenuhnya berada di tangan Kejari Jakarta Selatan. “Coba tanya ke Kejari Jakarta Selatan, selaku jaksa eksekutornya,” kata Anang.
Perhatian dari Tokoh Lain
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Damanik, menyebut Silfester ada di Jakarta dan menilai Kejaksaan seharusnya tak sulit untuk mengeksekusinya. Menurut Freddy, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Ketum Solmet) tersebut diduga mengikuti perkembangan kasusnya yang saat ini menuai polemik. Namun, Silfester dinilai memilih lebih banyak diam ketimbang muncul ke publik.
“Mungkin beliau mendengarkan, kata Pak Oegro (Eks Wakapolri) tadi, jadi jangan berkoar-koar dulu. Tapi, datang ke kejaksaan tadi mungkin itu belum bisa dilaksanakan kita enggak tahu. Tapi, setahu saya beliau ada di Jakarta,” kata Freddy seperti dikutip dari Metro TV News yang tayang pada Jumat (9/8/2025).
Informasi keberadaan Silfester diketahui Freddy sekitar dua hari yang lalu dari temannya. Ia melanjutkan kejaksaan sebagai pihak yang berwenang memproses Silfester semestinya tidak sulit menemukannya. “Toh, kalau memang kejaksaan sebagai pihak yang punya wewenang melakukan kewenangannya tidak susah lah. Tapi, kan masih ada mekanisme pemanggilan waktu itu. Kita tidak tahu, kita tanyakan saja kepada kejaksaan perihal itu,” tambahnya.
Desakan dari Kuasa Hukum Roy Suryo Cs
Sementara itu, kuasa hukum Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin, meminta Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan segera mengeksekusi Silfester Matutina. “Yang harus disegerakan dan ini sudah berkekuatan hukum tetap adalah melaksanakan eksekusi putusan Mahkamah Agung yang sudah diterbitkan di 2019 lalu yang berkaitan dengan vonis kepada terpidana saudara Silfester Matutina yang sudah diganjar dengan 1 tahun dan 6 bulan,” kata Khozinudin di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (11/8/2025).
Khozunudin menuturkan, pihaknya sudah berupaya mendatangi Kejari Jakarta Selatan untuk meminta Silfester segera dijebloskan ke penjara. Namun, eksekusi itu tak kunjung dilakukan. “Sampai hari ini kami belum mendengar ada kabar dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengeksekusi putusan tersebut. Padahal kami sudah mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Juli 2025 yang lalu,” ujar dia.
Menurut dia, sikap Kejari Jakarta Selatan tersebut bisa merusak wibawa hukum dan kepercayaan publik. Terlebih saat ini Silfester menjabat sebagai komisaris di salah satu perusahaan BUMN. “Jangan sampai ada anggapan klien kami yang baru penyidikan saja dikejar-kejar begitu rupa dengan panggilan yang luar biasa, tetapi orang yang sudah berstatus sebagai terpidana dan seharusnya sudah di penjara justru masih bisa berkeliran bebas di mana-mana,” ungkap Khozinudin.
Latar Belakang Kasus
Silfester Matutina telah dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh tim kuasa hukum Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 lalu, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah. Laporan ini dipicu oleh orasi Silfester pada 15 Mei 2017 di depan Mabes Polri. Saat itu, ia menuding Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Selain itu, Silfester disinyalir telah menyebut keluarga Kalla sebagai penyebab kemiskinan akibat dugaan korupsi dan nepotisme. Tak lama setelah orasi ini, Silfester bersikukuh tidak bermaksud untuk memfitnah Jusuf Kalla. “Saya merasa tidak memfitnah JK, tapi adalah bentuk anak bangsa menyikapi masalah bangsa kita,” ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Senin (29/5/2017).
Pada 2019, kasus pun bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan ia dijatuhi vonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim. Lalu, Silfester mengajukan banding. Namun, hasil putusan banding hingga kasasi menyatakan Silfester bersalah, sehingga, masih pada 2019, masa hukumannya ditambah menjadi 1,5 tahun.
Vonis dijatuhkan Mahkamah Agung pada Mei 2019 melalui putusan kasasi nomor 287 K/Pid/2019, dan menyatakan Silfester bersalah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP. Akan tetapi, meski vonis tersebut sudah inkrah, hingga Agustus 2025 ini atau lebih dari lima tahun berselang, Silfester belum pernah ditahan.