
Perlawanan terhadap Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
Delapan puluh tahun telah berlalu sejak kemerdekaan Indonesia diraih. Namun, pada masa itu, Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 142 tahun, tidak siap menerima keberadaan negara baru bernama Indonesia. Mereka menolak pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia dan mulai merancang strategi untuk kembali memperkuat pengaruhnya di wilayah ini.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan memindahkan para tahanan politik dari Digoel ke Australia. Tokoh-tokoh seperti PKI, PNI, PNI Baru, PSII, PERMI, dan lainnya dipindahkan. Namun, upaya ini tidak bisa menghentikan dukungan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Bahkan, dukungan datang dari kalangan Muslim Rusia, yang menunjukkan simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Tokoh seperti Djamaluddin Tamim, yang dikenal sebagai tangan kanan Tan Malaka, menolak rencana tersebut. Ia hanya setuju jika para tahanan dipindahkan ke Merauke. Namun, Van der Plas, pejabat administrasi sipil Hindia Belanda, tetap bersikeras untuk memindahkan mereka ke Australia. Hal ini menimbulkan ketegangan antara pihak Belanda dan tokoh-tokoh Indonesia.
Beberapa tokoh seperti Soedjono (pimpinan PKI), Haji Jalaluddin Thaib (pengurus PERMI), Burhanuddin, Sjahrir, serta dr Woworuntu yang baru kembali dari Moskow, dipanggil oleh Van der Plas. Mereka melakukan beberapa kali pertemuan rahasia di kediaman Controleur Digoel, yang menunjukkan adanya kesepakatan antara mereka dan petinggi Belanda.
Dari hasil pembicaraan tersebut, dibentuklah organisasi baru yang dikenal sebagai Serikat Indonesia Baru (SIBAR). Organisasi ini bertujuan untuk menolak pengakuan terhadap Republik Indonesia yang telah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Mereka juga menuduh Soekarno dan Hatta sebagai kolaborator atau penjahat perang, dan berencana untuk kembali ke Indonesia bersama Van Mook dan Van der Plas untuk mendirikan negara baru yang lebih erat bekerja sama dengan Belanda.
Penolakan Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Van der Plas menunjukkan sikap yang sangat keras saat konferensi pers di Singapura. Ia menolak pengakuan terhadap Republik Indonesia dan menyatakan bahwa Soekarno tidak layak diakui. Bahkan, ia menuduh Bung Karno sebagai penjahat perang dan menyarankan agar dia diadili melalui komisi. Ia juga mengklaim bahwa enam tokoh terkemuka Indonesia telah menanggapi seruannya untuk datang dan berbicara dengannya.
Laksamana Helfrich, komandan pasukan Belanda di Hindia Timur, juga menolak kemerdekaan Indonesia. Ia menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dan akan menjadi ancaman bagi perdamaian di Samudra Hindia. Ia bahkan menyebut pencaplokan wilayah Indonesia sebagai hal yang wajar, karena menurutnya Belanda hanya mencoba mengembalikan barang-barang yang dicuri oleh orang Indonesia.
Respons Keras dari Tokoh-Tokoh Indonesia
Kwartelet Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka memberikan respons keras terhadap penolakan Belanda. Bung Karno dalam editorial majalah Kebebasan menyatakan bahwa ia menolak untuk berunding dengan Belanda dan siap melawan jika Belanda mengancam kedaulatan Indonesia. Ia menekankan pentingnya pengakuan dunia atas kemerdekaan Indonesia.
Mohammad Hatta menegaskan bahwa Indonesia ingin segera terbebas dari dominasi asing. Sutan Sjahrir menambahkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan menerima syarat apa pun dari tentara Sekutu, selain pengakuan kemerdekaan. Ia juga berharap Indonesia dapat menjalin kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain setelah mendapatkan pengakuan.
Tan Malaka menolak usaha damai dan diplomasi dengan Belanda. Ia percaya bahwa hanya dengan perlawanan yang tegas, Indonesia dapat meraih kemerdekaannya. Menurutnya, perundingan hanya bisa dilakukan oleh dua negara yang merdeka, sementara posisi Indonesia saat itu sangat tidak seimbang.
Dukungan Internasional untuk Kemerdekaan Indonesia
Pencaplokan wilayah Indonesia oleh Belanda mendapat respon keras dari dunia luar. Palestina menjadi satu-satunya negara yang mengakui Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan. Tepatnya pada 6 September 1944, Palestina mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka secara de facto. Ucapan selamat dari Palestina disiarkan melalui radio berbahasa Arab di Berlin, Jerman.
Respon berikutnya datang dari Australia, di mana pemogokan eksterniran asal Digoel meluas ke kamp-kamp Belanda. Wakil Presiden Australia ikut dalam pawai bersama pemogok Indonesia. Selain itu, koran Rusia Izvestia juga memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia, menyoroti tindakan militer Belanda yang terus meningkat terhadap penduduk setempat.
Negara-negara Arab juga menunjukkan simpati terhadap perjuangan Indonesia. A.R Baswedan, Wakil Menteri Penerangan Republik Indonesia, menyampaikan rasa terima kasih atas dukungan dari masyarakat Arab. Dukungan dari Moskow juga hadir melalui pidato mufti Ishan Bala Khan Abdoèlmadjid yang mengecam tindakan Belanda.
India juga memberikan dukungan kuat terhadap kemerdekaan Indonesia. Pandit Jawaharlal Nehru menegaskan bahwa serangan Belanda terhadap Indonesia tidak dapat ditoleransi. Ia menyatakan bahwa semua negara Asia menaruh perhatian pada India untuk meminta bantuan dalam perkembangannya menuju kemerdekaan.
Negara-Negara yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia
Setelah Palestina, beberapa negara lain mulai mengakui kemerdekaan Indonesia. Mesir mengakui pada 22 Maret 1946, Suriah pada 2 Juli 1947, Vatikan pada 6 Juli 1947, Lebanon pada 29 Juli 1947, India pada 2 September 1946, Afghanistan pada 23 September 1947, Arab Saudi pada November 1947, Yaman pada 3 Mei 1948, dan Turki pada 29 Desember 1949.