
Perdebatan Royalti Hak Cipta Lagu Memicu Diskusi di Parlemen
Parlemen Indonesia kembali mengangkat isu pengelolaan royalti hak cipta lagu sebagai fokus utama dalam rapat konsultasi yang dihadiri oleh perwakilan musisi, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), Kementerian Hukum, dan pihak terkait. Pertemuan ini dilakukan bersama Komisi XIII DPR RI pada Kamis (21/8) untuk membahas manajemen royalti dan perlindungan karya cipta.
Polemik ini diharapkan dapat segera diselesaikan melalui revisi undang-undang hak cipta yang sedang dalam proses penyusunan. Salah satu tokoh yang menyampaikan keluhan adalah Wakil Ketua Umum Vibrasi Suara Indonesia (VISI), Nazril Irham atau Ariel. Ia mengeluhkan bagaimana penyanyi seringkali tidak memiliki keleluasaan dalam tampil karena masalah royalti.
Ariel menyebut kasus Agnes Monica yang harus menjalani sidang melawan pencipta lagunya terkait performing rights. Hal ini memicu deklarasi serupa dari beberapa pihak lainnya. Menurutnya, beban pembayaran performing rights seharusnya ditanggung oleh penyelenggara acara, bukan penyanyi. Namun, ketidakjelasan aturan sering memicu perdebatan antara penyanyi dan pencipta lagu.
Contoh nyata yang disampaikan oleh Ariel adalah kasus Merlin Claudia yang diberi somasi sebesar Rp 5 juta setelah membawakan lagu "Tabola Bale". Ini menunjukkan betapa kompleksnya sistem royalti saat ini.
Ketimpangan Sistem Pengumpulan Royalti
Selain Ariel, Piyu Padi juga menyampaikan keluhan terkait ketimpangan dalam sistem pengumpulan royalti. Ia menyoroti adanya ketidakadilan bagi para pencipta lagu, meskipun mereka telah mencabut kuasa terhadap LMK, royalti tetap dipungut dan diberikan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Contoh yang disampaikan Piyu adalah Ari Lasso yang sudah mencabut haknya, namun WAMI masih memungut royalti atas lagu-lagunya. Ia menilai hal ini sangat tidak adil.
Sistem pengumpulan royalti saat ini juga dinilai tidak transparan. Berdasarkan regulasi saat ini, royalti dipungut sebesar dua persen dari hasil penjualan tiket konser. Piyu menilai sistem ini membuat pencipta lagu menanggung risiko penyelenggaraan acara, berbeda dengan pihak lain seperti artis, vendor, hingga OB yang dibayar sesegera mungkin.
Menurutnya, pencipta lagu justru dibayar setelah konser dan harus menunggu hingga enam bulan. Untuk itu, Piyu dan komunitas AKSI menuntut agar lisensi penggunaan lagu diberikan sebelum konser digelar. Ia mencontohkan praktik di luar negeri di mana seluruh perizinan, termasuk pembayaran royalti kepada pencipta lagu, diselesaikan sebelum artis naik ke panggung.
Kritik terhadap Sistem Extended Collective License dan Blanket License
Piyu juga mengkritik penggunaan sistem extended collective license dan blanket license yang dinilai tidak transparan. Menurutnya, sistem tersebut rentan terhadap manipulasi karena tidak didasarkan pada data penggunaan lagu secara riil, seperti daftar lagu yang dimainkan.
Di era digital saat ini, ia menilai data penggunaan lagu bisa dikumpulkan secara akurat. Namun, sampai saat ini belum ada sistem yang benar-benar efektif dalam mengelola royalti secara real-time.
Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Royalti
Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menyampaikan bahwa LMK dapat dicabut izinnya jika tidak mengunggah data pencipta, pemegang hak cipta, atau pemerintah terkait ke pusat data lagu. Jika dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun sejak mendapatkan izin operasional LMK tidak melaksanakan hal tersebut, maka izin operasional dapat dicabut.
Eddy menyampaikan dasar hukum pengelolaan royalti lagu dan musik mengacu pada beberapa regulasi yang telah ditetapkan pemerintah, termasuk UU Nomor 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, PP 2021 tentang pengelolaan royalti, serta Peraturan Menteri Hukum nomor 27 tahun 2025.
Dalam hal penarikan royalti, pemerintah akan mengerahkan dukungan tambahan. Penarikan royalti dibantu oleh tenaga ahli dan perwakilan LMKN di daerah provinsi.
Tantangan dan Solusi Pengelolaan Royalti
Terkait tantangan pengelolaan royalti, Eddy mengidentifikasi tiga permasalahan utama: regulasi, teknis-operasional, dan ekonomi-sosial. Terkait besaran tarif royalti, pemerintah memberikan perhatian terhadap UMKM. Sehingga ada keringanan tarif. Ini mendorong UMKM untuk menyusun perdomaan tentang besar tarif royalti untuk UMKM sebagai implementasi ketentuan dalam pasal 11 PP 56 tahun 2021.
Eddy juga mengeluhkan kesadaran masyarakat yang rendah dalam pembayaran royalti. Ini diakuinya menjadi hambatan dalam penerapan pembayaran royalti. Selain itu, nilai royalti belum optimal dibandingkan dengan potensi ekonomi hak ciptanya. Solusinya adalah sosialisasi dan edukasi masif oleh seluruh pemangku kepentingan.
Peran Wakil Ketua DPR dalam Penyelesaian Polemik
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad turun tangan dalam menyelesaikan polemik soal royalti. Ia meminta seluruh pihak yang terlibat konsentrasi dalam pembahasan undang-undang hak cipta selama dua bulan ke depan.
Dasco juga mengusulkan agar hanya ada satu organisasi LMK. Menurutnya, sekarang ini terlalu banyak lembaga yang mengurusi manajemen pencipta, penyanyi, maupun pemusik. Tujuannya agar tidak terjadi kebingungan siapa yang mengurusi soal hak cipta ini.
Selain itu, Dasco meminta adanya audit di LMKN. Selama ini pembayaran royalti menjadi polemik. Baik terkait besaran maupun bagaimana pengelolaan pembagiannya.
"Jangan sampai rakyat tidak bisa dengar musik lagi," ujarnya. Dia juga mengatakan sudah berkoordinasi dengan kepolisian terkait pemberian izin konser. Jika penyelenggara tidak membayar terkait royalti hak cipta maka izin tidak bisa dikeluarkan.
"Mari kita atur bersama dalam undang-undang," bebernya.