
Pemerintah Siap Tindaklanjuti Dugaan Mafia Impor Tekstil
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa pihaknya siap mengambil langkah tegas terhadap dugaan adanya praktik mafia dalam impor tekstil yang disebut-sebut menjadi penyebab keterpurukan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri. Ia meminta pihak-pihak yang menganggap ada indikasi kecurangan untuk melaporkan bukti konkret kepada Kementerian Perindustrian agar segera ditindak.
“Jika memang ada mafia di kantor kita, sampaikan kepada kami, jangan ditutup-tutupi. Sampaikan siapa namanya, pasti kita bersihkan. Kami tidak ragu mengambil langkah tegas,” ujar Agus saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Agus menekankan pentingnya regulasi impor dalam menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri hilir TPT. Menurutnya, pasokan bahan baku dari hulu dan intermediate harus tetap stabil agar tidak mengganggu kelangsungan industri hilir.
Pernyataan ini merespons sorotan dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), yang mempertanyakan kebijakan pemerintah membuka keran impor benang dan kain di tengah kondisi industri TPT yang sedang tertekan. Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyebut lonjakan impor justru mempercepat proses deindustrialisasi sekaligus memperburuk kondisi tenaga kerja di sektor TPT.
Menurut Redma, sejak 2021 semua impor benang dan kain wajib melalui Persetujuan Impor (PI) berdasarkan kuota impor yang ditentukan oleh Kemenperin. “Jika impornya naik, artinya kuota impor yang diberikan Kemenperin juga terus naik. Ini yang kami pertanyakan, kenapa Kemenperin memberi kuota tinggi sementara banyak industri TPT gulung tikar,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan signifikan dalam impor benang dan kain dalam delapan tahun terakhir. Pada 2016, impor benang hanya sebesar 230 ribu ton dan kain 724 ribu ton. Namun pada 2024, jumlahnya hampir dua kali lipat menjadi masing-masing 462 ribu ton dan 939 ribu ton.
APSyFI mencatat bahwa kontribusi sektor TPT terhadap PDB terus menurun dari 1,16% pada 2016 menjadi 0,99% pada 2024. Neraca perdagangan TPT juga merosot dari surplus US$ 3,6 miliar pada 2016 menjadi hanya US$ 2,4 miliar pada tahun lalu.
Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto, mendesak pemerintah untuk mengusut dugaan adanya mafia dalam distribusi kuota impor yang dinilai hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha. “Sudah menjadi rahasia umum, kuota besar hanya diberikan kepada belasan perusahaan API-P yang dimiliki sekitar empat orang saja,” ungkapnya.
Agus Gumiwang menegaskan bahwa setiap laporan terkait praktik-praktik menyimpang dalam distribusi kuota impor akan diproses sesuai hukum. “Jangan hanya bicara di luar, tapi laporkan kepada kami. Semua laporan akan kami tindaklanjuti,” katanya.
Isu Kuota Impor yang Mengkhawatirkan
Dalam konteks ini, isu kuota impor menjadi topik yang sangat sensitif. Banyak pihak khawatir bahwa sistem kuota yang digunakan tidak transparan dan cenderung memberi keuntungan kepada sejumlah perusahaan tertentu. Hal ini memicu kecurigaan bahwa ada mekanisme yang tidak adil dalam pengaturan impor tekstil.
Selain itu, peningkatan impor benang dan kain yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir juga menjadi perhatian serius. Meskipun impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri, peningkatan yang terlalu cepat dapat mengancam keberlangsungan industri lokal.
Beberapa ahli ekonomi menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan impor, termasuk mengevaluasi apakah kuota yang diberikan sesuai dengan kebutuhan industri atau justru memperburuk situasi. Mereka juga menyarankan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap pelaku usaha yang mengajukan permohonan impor.
Langkah yang Harus Diambil
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga pengawas. Pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi impor tidak hanya bertujuan untuk menjaga ketersediaan bahan baku, tetapi juga menjaga keadilan dalam distribusi kuota.
Selain itu, diperlukan transparansi dalam proses pengajuan dan pemberian kuota impor. Pelaku usaha yang terbukti melakukan praktik curang harus dihukum sesuai aturan yang berlaku. Dengan demikian, kepercayaan terhadap sistem impor dapat dipulihkan dan industri TPT bisa kembali bangkit.